Kamis, 18 Desember 2008

Mengapa Kata “Allah” dan “TUHAN” Dipakai dalam Alkitab Kita?

Pengantar

Kata “Allah” masih dipersoalkan oleh sebagian pengguna Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Persoalan ini mencuat ke permukaan, karena ada beberapa kelompok yang menolak penggunaan kata “Allah” dan ingin menghidupkan kembali penggunaan nama Yahweh atau Yahwe. Dalam teks Ibrani sebenarnya nama Yahweh atau Yahwe ditulis hanya dengan empat huruf konsonan (YOD-HE-WAW-HE, “YHWH”) tanpa huruf vokal. Tetapi, ada yang bersikeras, keempat huruf ini harus diucapkan. Terjemahan LAI dianggap telah menyimpang, bahkan menyesat­kan umat kristiani di tanah air. Apakah LAI yang dipercaya gereja-gereja untuk menerjemah­kan Alkitab telah melakukan kesalahan yang begitu mendasar? Di mana sebenarnya letak persoalannya? Penjelasan berikut bertujuan untuk memaparkan secara singkat pertimbangan-pertimbangan yang melandasi kebijakan LAI dalam persoalan ini.

Mengapa LAI menggunakan kata “Allah”?

Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang digunakan secara luas di tanah air, baik oleh umat Katolik maupun Protestan, kata “Allah” merupakan padanan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL dalam Alkitab Ibrani:

Kej 1:1 “Pada mulanya Allah (’ELOHIM) menciptakan langit dan bumi”.

Ul 32:17 “Mereka mempersembahkan kurban kepada roh-roh jahat yang

bukan Allah (’ELOAH).

Mzm 22:2 “Allahku (EL), Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”

Dari segi bahasa, tidak dapat dipungkiri, kata ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL berkaitan dengan akar kata ’L, dewa yang disembah dalam dunia Semit kuno. EL, ILU atau ILAH adalah bentuk-bentuk serumpun yang umum digunakan untuk dewa tertinggi. Umat Israel kuno ternyata memakai istilah yang digunakan oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Apakah hal itu berarti bahwa mereka penganut politeisme? Tentu saja, tidak! Umat Israel kuno memahami kata-kata itu secara baru. Yang mereka sembah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi. Proses seperti inilah yang masih terus bergulir ketika firman Tuhan mencapai berbagai bangsa dan budaya di seluruh dunia.

Beberapa kelompok yang menolak kata “Allah” memang ber­pendapat, kata itu tidak boleh hadir dalam Alkitab umat kristiani. Ada yang memberi alasan bahwa “Allah” adalah nama Tuhan yang disembah umat Muslim. Ada pula yang mengait­kannya dengan dewa-dewi bangsa Arab. Seandainya pendirian ini benar, tentu ’EL, ’ELOAH dan ’ELOHIM pun harus dicoret dari Alkitab Ibrani! Lagi pula, beberapa inskripsi yang ditemukan pada abad keenam menunjukkan bahwa kata “Allah” telah digunakan umat kristiani Ortodoks sebelum lahirnya Islam. Hingga kini, umat kristiani di negeri seperti Mesir, Irak, Aljazair, Yordania dan Libanon tetap memakai “Allah” dalam Alkitab mereka. Jadi, kata “Allah” tidak dapat diklaim sebagai milik satu agama saja.

Kebijakan LAI dalam menerjemahkan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL sama sekali bukan hal baru. Terjemahan Alkitab yang pertama ke dalam bahasa Yunani sekitar abad ketiga SM. merupakan contoh tertua yang kita miliki. Terjemahan yang dikenal dengan nama “Septuaginta” dikerjakan di Aleksandria, Mesir, dan ditujukan bagi umat Yahudi berbahasa Yunani. Dalam Kejadian 1:1, misalnya, Septuaginta meng­guna­kan istilah THEOS yang biasa dipakai untuk dewa-dewa Yunani. Nyatanya, Perjanjian Baru pun memakai kata yang sama, seperti contoh berikut: ”Terpujilah Allah (THEOS), Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (2 Kor 1:3). Tentu, THEOS dalam kutipan ini tidak dipahami sebagai sembahan politeis.

Kata “Allah” dalam sejarah penerjemahan Alkitab di nusantara

Sebelum Alkitab TB-LAI diterbitkan pada tahun 1974, telah ada beberapa Alkitab dalam bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Injil Matius terjemahan A. C. Ruyl (1629) adalah upaya pertama dalam penerjemahan Alkitab di nusantara. Menariknya, dalam terjemahan perdana ini, kata “Allah” telah digunakan, seperti contoh berikut: “maka angkou memerin’ja nama Emanuel artin’ja Allahu (THEOS) ſerta ſegala kita” (Mat 1:23). Terjemahan selanjutnya juga mempertahankan kata “Allah”, antara lain:

  • Terjemahan Kitab Kejadian oleh D. Brouwerius (1662): “Lagi trang itou Alla ſouda bernamma ſeang” (Kej 1:5).
  • Terjemahan M. Leijdecker (1733): “Pada mulanja dedjadikanlah Allah akan ſwarga dan dunja” (Kej 1:1)
  • Terjemahan H.C. Klinkert (1879): “Bahwa-sanja Allah djoega salamatkoe” (Yes 12:2).

· Terjemahan W.A. Bode (1938): “Maka pada awal pertama adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah”.

Seperti tampak pada contoh-contoh di atas, kata “Allah” yang baru belakangan ini dipersoalkan oleh sebagian umat kristiani telah digunakan selama ratusan tahun dalam terjemahan-terjemahan Alkitab yang beredar di nusantara.

Singkatnya, ketika meneruskan penggunaan kata “Allah”, tim penerjemah LAI mempertimbangkan bobot sejarah maupun proses penerjemahan lintas-budaya yang sudah terlihat dalam Alkitab sendiri.

Apa dasar kebijakan LAI dalam soal “YHWH”?

Harus diakui, asal-usul nama YHWH tidak mudah ditelusuri. Dari segi bahasa, YHWH sering dikaitkan dengan kata HAYAH ‘ada, menjadi’, seperti yang terungkap dalam Keluaran 3:14: “Firman Allah (’ELOHIM) kepada Musa: ‘AKU ADALAH AKU.’ (’EHYEH ’ASHER ’EHYEH). Lagi firman-Nya: ‘Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU (’EHYEH) telah mengutus aku kepadamu.’” Maknanya yang persis tidak diketahui lagi, namun ada yang menafsirkannya sebagai kehadiran Tuhan yang senantiasa ‘ADA’ menyertai sejarah umat-Nya.

Apa dasar LAI menggunakan kata “TUHAN” (seluruhnya huruf besar) sebagai padanan untuk YHWH? Untuk menjawab ini, kita perlu memperhatikan sejarah. Umat Yahudi sesudah masa pembuangan amat segan menye­but nama sakral YHWH secara langsung oleh karena rasa hormat yang mendalam. Lagi pula, pengucapan YHWH yang persis tidak diketahui lagi. Setiap kali bertemu kata YHWH dalam Alkitab Ibrani, mereka menyebut ’ADONAY yang berarti ‘Tuhan’. Tradisi pengucapan ini juga terlihat jelas dalam Septuaginta yang menggunakan kata KYRIOS (‘Tuhan’) untuk YHWH, seperti contoh berikut: ”KYRIOS menggembala­kan aku, dan aku tidak kekurangan apa pun” (Mzm 23:1).

Ternyata, Yesus dan para rasul mengikuti tradisi yang sama! Sebagai contoh, dalam pen­cobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis dengan kutipan dari Ulangan 6:16: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan (KYRIOS), Allahmu” (Mat 4:7). Dalam kutipan ini tidak ditemukan nama YHWH melainkan KYRIOS. Jika nama YHWH harus ditulis seperti dalam teks Ibrani, mengapa penulis Injil Matius tidak mempertahankannya? Begitu pula, dalam surat-surat rasul Paulus tidak pernah digunakan nama YHWH. Dalam Roma 10:13, misalnya, Paulus mengutip Yoel 2:32: “Barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan (KYRIOS) akan diselamatkan”. Terbukti, kata yang digunakan adalah KYRIOS, bukan YHWH.

Mungkinkah Yesus dan para rasul telah mengikuti suatu tradisi yang “keliru”? Tentu saja, tidak! Para penulis Perjanjian Baru justru mengikuti tradisi umat Yahudi yang menyebut ’ADONAY (‘TUHAN’) setiap kali bertemu nama YHWH. Karena Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, kata KYRIOS dipakai sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mencerminkan tradisi pengucapan YHWH.

Singkatnya, LAI mengikuti teladan Yesus dan umat kristiani per­dana menyangkut pengucapan YHWH. Dalam Alkitab TB-LAI, kata “TUHAN” ditulis dengan huruf besar semua sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mengingat­kan tradisi pengucapan itu. Penulisan ini memang sengaja dibedakan ­dengan “Tuhan” (hanya huruf pertama besar), padanan untuk ’ADONAY yang tidak merepresentasi YHWH. Perhatikan contoh berikut: “Sion berkata: ‘TUHAN (YHWH) telah mening­gal­kan aku dan Tuhanku (’ADONAY) telah melupakan aku.’” (Yes 49:14). Pem­bedaan ini tentu tidak relevan untuk Perjanjian Baru yang tidak memper­tahankan penulisan YHWH.

Berbagai terjemahan modern juga mengikuti tradisi yang sama, misalnya, dalam bahasa Inggris: “the LORD” (New Jewish Publication Society Version; New Revised Standard Version, New International Version, New King James Version, Today’s English Version); Jerman: “der HERR” (Einheits­übersetzung; die Bibel nach der Übersetzung Martin Luthers); Belanda: “de HEER” (Nieuwe Bijbelvertaling); Perancis”: “le SEIGNEUR” (Traduction Oecumé­ni­que de la Bible).

Penutup

Kebijakan LAI mengenai padanan untuk nama-nama ilahi tidak diambil secara simplistis. Berbagai aspek harus dipertimbangkan dengan matang, antara lain:

  • Teks sumber (Ibrani dan Aram untuk Perjanjian Lama; Yunani untuk Perjan­jian Baru) dan tafsirannya.
  • Tradisi umat Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
  • Sejarah pemakaian nama-nama ilahi dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa dan budaya dari zaman ke zaman.
  • Kebijakan yang diikuti tim-tim penerjemahan Alkitab di seluruh dunia, khususnya yang bergabung dalam Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab se-Dunia (United Bible Societies).

· Kesepakatan yang diambil bersama dengan gereja-gereja, baik Katolik mau­pun Protestan, yang menggunakan Alkitab terbitan LAI hingga saat ini. Menjelang penyelesaian Alkitab TB-LAI, misalnya, pada tahun 1968 diadakan konsultasi di Cipayung dengan para pimpinan dan wakil gereja-gereja dari berbagai denominasi. Dalam konsultasi ini, antara lain, disepakati agar kata “Allah” tetap digunakan seperti dalam terjemahan-terjemahan sebelumnya.

LAI tidak pernah berpretensi seolah-olah terjemahannya sudah sempurna dan tidak perlu diperbaiki lagi. Akan tetapi, mengingat proses panjang dan berhati-hati yang ditempuh dalam menerbitkan Alkitab, tuntutan beberapa kelompok yang ingin menyingkirkan atau memulihkan nama tertentu, tidak dapat dituruti begitu saja. Dalam semua proses pengambilan keputusan menyangkut terjemahan Alkitab, berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan saksama menyangkut teks-teks sumber, tafsirannya, tradisi penerjemahan sampai dampaknya bagi persekutuan dan kesaksian umat Tuhan bersama-sama, khususnya di tanah air kita.

Akhirnya, dengan penuh kesadaran akan terbatasnya kemampuan manusia di hadapan Allah, kita patut mempersembahkan puji syukur kepada Dia yang telah menyatakan firman yang diilhamkan-Nya untuk mendidik orang dalam kebenaran dan memperlengkapi umat-Nya untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:16-17). Dialah yang telah mempersiapkan orang-orang untuk menjelmakan firman kebenaran-Nya dalam aneka bahasa dan budaya dari masa ke masa. Segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!

LEMBAGA ALKITAB INDONESIA

Jl. Salemba Raya 12, Jakarta 10430

P.O. Box 1255, Jakarta 10012

Tel. (021) 314-2890, Faks. (021) 310-1061

E-mail: info@alkitab.or.id

Senin, 15 Desember 2008

Cara Efektif Mengajarkan Nilai-nilai Positif Kepada Anak

"… akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi Bapamu … sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (I Korintus 4:15-16)

Luruskan dan tetapkanlah nilai-nilai Anda—hal-hal yang terpenting bagi Anda—demi kepentingan Anda dan anak Anda. Anda adalah figur yang ditiru, entah Anda suka atau tidak!

I. CARA MENCAPAINYA:
1. Telitilah dengan jujur nilai-nilai Anda.
2. Berangan-anganlah untuk menjadi orang yang Anda ingin anak Anda menjadi sepertinya.
3. Jika Anda mempunyai pasangan hidup, bicarakan dengan jujur hal-hal yang penting bagi Anda berdua.
4. Putuskan, seberapa penting pekerjaan berperan dalam hidup Anda dan pertimbangkan segala sesuatunya dari sana.
5. Hadapi dengan tenang persoalan genting yang menekan, sekarang juga. Menundanya hanya akan menambah parah.
6. Entah Anda bekerja atau tidak, jadikan “meluangkan waktu bersama anak” sebagai prioritas utama.

II. CARA MENGOMUNIKASIKAN:
1. Ceritakan kehidupan Anda dan ambillah pelajaran atau nilai positifnya.
Anak-anak senang mendengarkan cerita tentang masa kecil Anda. Selipkanlah beberapa dilema moral dalam cerita Anda, maka Anda akan mendapat kesempatan untuk mengajar nilai-nilai yang positif pada mereka.

2. Hiduplah menurut nilai-nilai yang Anda pegang—bertindaklah sesuai dengan perkataan Anda.
Anak-anak belajar dari meniru. Mereka mampu melihat dan membandingkan apakah yang Anda katakan dan lakukan sama. Oleh karena itu, janganlah membuat mereka bingung. Ikuti dan terapkan nilai-nilai yang Anda pegang dalam kehidupan sehari-hari.

3. Perkenalkan nilai-nilai agama kepada mereka.
Ajarlah mereka untuk mengetahui bahwa mereka tidak sendiri. Perkenalkanlah saudara-saudara seiman yang saling mendukung dalam komunitas bergereja. Hal ini akan memperkuat nilai-nilai positif dalam jiwa dan perilaku mereka.

4. Perhatikan siapa saja yang mengajarkan nilai-nilai kepada anak Anda.
Kenali orang-orang yang ada di sekitar anak Anda—guru di sekolah, guru Sekolah Minggu, teman dst. Ketahuilah nilai-nilai yang mereka anut, karena orang-orang yang menghabiskan banyak waktu bersama anak Anda pastilah akan memengaruhi mereka. Ketahuilah juga kepercayaan mereka.

5. Ajukan pertanyaan yang membangkitkan perbincangan tentang nilai-nilai mereka.
Mengatakan kepada anak-anak yang terlalu kecil tentang nilai-nilai positif yang patut untuk mereka terapkan dalam kehidupan pastilah lebih sulit. Sebagai gantinya, tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan yang memicu diskusi tentang nilai-nilai. Misalnya ketika terjadi perkelahian, cobalah ajukan pertanyaan,”Menurutmu bagaimana perkelahian itu?” Pertanyaan seperti ini akan lebih efektif dibanding bila Anda berkomentar, “Dia seharusnya tidak boleh memulai pertengkaran itu!”

6. Sampaikan nilai-nilai positif dengan cara yang santai dan mudah dimengerti.
Berbicara tentang nilai-nilai yang seharusnya dipegang oleh anak Anda akan percuma jika Anda mengatakannya setelah anak Anda terperosok! Bicarakanlah dengan mereka saat santai. Lakukanlah dalam pembicaraan ringan sehari-hari. Suasana yang santai lebih memudahkan mereka untuk mendengarkan Anda dibanding bila Anda menghu-kum dan mengomel pada mereka.

7. Bacakan dongeng kepada anak balita Dongeng dan kisah lainnya seperti fabel dan hikayat selalu menarik bagi anak-anak.
Selain mengasah imajinasi mereka, dongeng dapat menjadi pengantar untuk membicarakan beragam topik nilai positif. Anak-anak belajar lebih cepat ketika mereka tertarik pada topik pembicaraan.

8. Libatkan anak-anak dalam berbagai aktivitas, termasuk seni dan membantu orang lain.
Kurangi menonton televisi dan bermain games. Anak-anak belajar tentang nilai-nilai positif ketika mereka mengalaminya. Bagi anak yang lebih besar, ajaklah mereka terlibat dalam berbagai aktivitas yang akan memperluas pengalaman dan daya kreativitasnya.

9. Sediakan waktu untuk berbincang-bincang seputar nilai-nilai yang Anda pegang dalam rumah tangga Anda.
Lakukan hal ini sering dan berkala sehingga anak-anak mengerti bahwa nilai-nilai positif yang Anda ajarkan kepada mereka adalah untuk diterapkan, bukan untuk dibicarakan saja.

10. Miliki harapan yang tinggi atas nilai-nilai yang hendak Anda terapkan bagi anak Anda.
Anak-anak akan menjadi seperti yang Anda inginkan. Nilai yang mereka anut akan tercermin dalam tingkah laku mereka. Semakin tinggi nilai-nilai positif yang orangtua ajarkan pada anak, tindakan mereka pun akan semakin baik.

Bangunlah komunikasi yang efektif dan penuh kasih.

Temukanlah caranya dalam buku berikut:
1. Menjadi Orangtua yang Bijaksana, H. Norman Wright, Penerbit Andi.
2. The Dad in the Mirror, Patrick Morley & David Delk, Penerbit Andi.
3. Orangtua Karier, Steve Chalke, Penerbit Andi.

Selasa, 11 November 2008

Oikumene Akasia

Pada awal Oktober diadakan pertemuan yang dihadiri oleh warga Kristen yang terdiri dari beberapa Hamba Tuhan, serta Tokoh masyarakat mengadakan pembicaraan sekitar pelayanan dengan fokus pembentukan Pelayanan Kristian

Sebagai langkah awal, rapat menyetujui dibentuknya Persekutuan Umat Kristen dan Pada tanggal, 12 Oktober 2008,melalui pertemuan umat Kristen Blok Akasia,  terbentuklah Oikumene Akasia yang merupakan Persektuan Umat Kristen yang berada di Blok Akasia RT 01, RW 10, Griya Tipar Cakung.

Susunan Pengurus :

Ketua              : Jemmy Pontoh

Sekretaris      : Marce Yatulan

Bendahara     : Minar 

Next : - Visi Misi

           - Kegiatan Oikumene Akasia


Oleh : Romy M

 

Toleransi Beragama di Indonesia

I. Setelah 63 Tahun Merdeka Masih Ngomong Tentang Toleransi?

Setelah 63 tahun merdeka kita masih sibuk dengan percakapan-percakapan tentang toleransi beragama. Mengapa? Bukankah bangsa kita dikenal di dunia sebagai bangsa yang sangat toleran? Sikap toleran itu telah berurat berakar di dalam budaya bangsa kita sebagaimana kita lihat dalam bangunan candi-candi di Jawa Tengah yang saling berdekatan satu sama lain. Candi Borobudur adalah candi Buddha, sementara candi Prambanan adalah candi Syiwa. Kita juga mengetahui bahwa para penasihat raja-raja Jawa dulu kala terdiri dari berbagai orang yang mengikuti sekte-sekte berbeda-beda. Semua bisa diterima dan dihormati. Tetapi toleransi bukan hanya diungkapkan dalam simbol-simbol. Juga dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sudah jamak bahwa bahkan di dalam keluarga yang sama terdapat penganut agama yang berbeda-beda. Semuanya baik-baik saja. Pada waktu lampau tidak ada keberatan untuk misalnya menyampaikan selamat hari raya kepada tetangga yang beragama lain. Ucapan-ucapan itu adalah tanda bahwa ada silaturahim di antara orang-orang bertetangga.

II. Mengapa Sekarang Kita Berdiskusi Lagi?

Mengapa kita perlu mendiskusikan lagi toleransi beragama sekarang ini? Mungkin sekali karena akhir-akhir ini timbul ketegangan-ketegangan di antara orang-orang berbeda agama. Bahkan beberapa tahun lalu kita menyaksikan konflik-konflik berdarah di Maluku, Maluku Utara, Poso, dan di beberapa tempat lainnya yang tidak bebas dari nuansa-nuansa agama. Tentu saja konflik-konflik itu dipicu oleh sebab-sebab lain di luar agama, tetapi dengan segera kita melihat betapa agama dibawa-bawa dalam konflik sehingga persoalan menjadi makin runyam. Sekarangpun kita masih melihat kecenderungan yang ada, kendati baru terbatas pada ketegangan-ketegangan. Di suatu daerah misalnya tidak boleh ada rumah ibadah didirikan karena, demikian dalihnya, belum ada izin diberikan. Tetapi persoalannya adalah bahwa kendati sudah diminta, izinnya tidak kunjung keluar, sementara orang tidak bisa berhenti beribadah. Atau rumah ibadah yang sudah ada disuruh tutup, karena konon tidak sesuai dengan PBM. Dengan demikian, PBM yang mestinya memudahkan orang untuk mendirikan rumah ibadah, lalu berubah menjadi alat penekan. Bahkan orang beribadah sendiri dikriminalisasikan. Ini tentu saja sangat disayangkan.
Bukan itu saja kenyataan yang kita hadapi. Di dalam agama yang sama pun terjadi ketegangan-ketegangan. Sebagai manusia yang berbeda, tentu saja tidak diharapkan kita seragam di dalam segala sesuatu. Keberagaman adalah hakikat kemanusiaan. Hal itu terungkap juga di dalam kita menginterpretasi agama, dan menghayatinya. Tentu tidak sama di antara para penganut itu, kendati ajaran-ajaran intinya tetap satu. Yang perlu diperkembangkan adalah kemampuan kita untuk menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
Jadi diskusi ini barangkali adalah salah satu upaya untuk saling memahami perbedaan dan dengan demikian saling menghargainya. Perbedaan tidak harus selalu identik dengan kejahatan.

III. Agama-agama Memang Berbeda.

Jelas, agama-agama memang berbeda. Mungkin saja ada agama-agama yang memang berasal dari akar yang sama. Yahudi, Kristen, Islam misalnya biasanya dilihat sebagai berasal dari akar abrahamik. Artinya Abraham dianggap sebagai “nenek moyang” agama-agama itu yang sama-sama mengakui Allah Yang Esa. Ini tentu baik, dan bagus juga untuk memperkembangkan pemahaman seperti itu. Juga menarik bagi para ahli ilmu pengetahuan agama. Namun bagi para penganut agama (biasa), agama-agama selalu berbeda. Karena itu tidak boleh dicampur aduk. Kalau dicampur aduk, terjadilah pencampuradukan (sinkretisme) agama-agama yang tentu saja mengkhianati agama-agama itu. Tidak ada satupun agama yang dibantu dengan pencampuradukan itu. Namun demikian, dalam setiap agama yang berbeda itu terkandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kebersamaan untuk hidup dalam masyarakat. Nilai keadilan misalnya, pasti terdapat dalam setiap agama. Nilai kejujuran, pasti dijunjung tinggi dalam setiap agama. Dan seterusnya. Nilai-nilai itu dapat diangkat sebagai nilai bersama. Ini bukan sinkretisme.
Bahwa setiap penganut agama menganggap agamanya paling benar, itulah wajar-wajar belaka. Tetapi bahwa klaim agama saya yang paling benar itu dipaksakan juga kepada penganut agama lain, tentu tidak wajar lagi. Ini akan menimbulkan ketegangan. Bagaimana menghormati perbedaan-perbedaan, dibutuhkan kedewasaan dan kematangan di dalam beragama dan bermasyarakat. Kematangan ini adalah ekspresi dari kebebasan kita sebagai manusia untuk juga dengan sukarela mendengarkan bagaimana para penganut agama lain menghayati dan mengungkapkan imannya. Dengan kemajuan alat-alat komunikasi yang sangat canggih dewasa ini, hampir tidak ada lagi ruang yang steril dari penyampaian pesan-pesan agama. Saya yang beragama Kristen bebas untuk mendengarkan pesan dari agama Islam. Itulah wujud kemerdekaan saya sebagai manusia.
Demikian juga alat-alat komunikasi canggih sekarang ini menayangkan kesaksian-kesaksian dari orang-orang yang berpindah agama. Dengan gamblang mereka menceriterakan pengalaman-pengalaman spiritual mereka sehingga mereka mengambil keputusan untuk berpindah dari agama A ke agama B. Saya kira dibutuhkan sikap kedewasaan untuk menyimak kesaksian-kesaskian seperti itu.

IV. Peranan Negara

Negara adalah pengayom semua penganut agama yang berbeda-beda itu. Negara tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap siapapun atas dasar agama. Keputusan-keputusan pemerintah (yang menubuhi negara) mestilah selalu didasarkan atas konstitusi. Negara tidak boleh mendasarkan keputusannya atas keputusan lembaga-lembaga yang bukan negara. Mungkin ada pertimbangan-pertimbangan dari lembaga-lembaga seperti itu, tetapi negara tetap mendasarkan keputusannya pada konstitusi. Pemerintah tidak berteologi. Yang berteologi adalah umat beragama sendiri. Tetapi negara menciptakan peluang (ruang) agar umat beragama dapat mengungkapkan imannya di muka umum (termasuk beribadah dan berteologi) secara bebas.

V. Beban Sejarah dan Visi Ke Depan

Tidak dapat disangkal bahwa kita mempunyai beban-beban sejarah. Akan halnya agama Kristen misalnya, masih belum bebas dari anggapan bahwa inilah agama kaum penjajah. Mungkin anggapan itu sebagian benar dalam arti bahwa tibanya kekristenan di Indonesia bersamaan dengan masuknya kolonialisme dan imperialisme. Tetapi itu tidak berarti bahwa semua penganut agama Kristen mempunyai mentalitas kolonialisme dan imperialisme. Bisa dibuktikan bahwa kaum intelektual yang dididik oleh Belanda pada waktu lalu justru ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Juga bisa dibuktikan bahwa kekristenan tidak semuanaya dibawa oleh kaum kolonialisme dan imperialisme. Banyak kaum penginjil yang datang ke Tanah Air yang justru dengan keras menentang praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme. Bahkan upaya-upaya pekabaran Injil mereka ditentang oleh para penguasa kolonial pada waktu lalu karena kekuatiran terganggunya stabilitas pada satu daerah.
Semua yang dikatakan ini adalah beban-beban sejarah yang tidak boleh dibiarkan. Kalau kita ingin benar-benar bersatu sebagai bangsa, dan bersama-sama maju ke depan, maka beban-beban sejarah seperti ini harus dihapuskan. Selanjutnya kita merumuskan visi bersama bagi kemajuan bangsa. Sekarang ini persoalan kemiskinan misalnya menjadi sangat akut. Setelah 63 tahun merdeka, toh kemiskinan masih menjadi musuh yang tidak mudah ditaklukkan. Kita harus melakukan introspeksi mengapa hal itu terjadi. Mengapa bangsa-bangsa lain di Asia yang belakangan merdeka sudah lebih dulu “tinggal landas”? Jangan-jangan karena kita masih terus sibuk dengan persoalan-persoalan ideologis, sehingga kita tidak punya waktu untuk sungguh-sungguh bekerja. Saya kira kita tidak usah lagi mengutak-atik Pancasila yang selama ini diterima bersama. Kita tinggal mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kita memang perlu “membebaskan” Pancasila dari “bajakan” mentalitas Orde Baru yang menjadikannya sebagai alat kekuasaan. Pancasila harus sungguh-sungguh hidup di dalam kehidupan seharí-hari kita. Hanya dengan mengamalkan nilai-nilainya, kita dapat maju bersama.


_________
*) Disampaikan Dalam Diskusi Lembaga Pers Dr.Soetomo, 25 Agustus 2008 di Hotel Santika- Jakarta.
**) Ketua Umum PGI.