Kamis, 18 Desember 2008

Mengapa Kata “Allah” dan “TUHAN” Dipakai dalam Alkitab Kita?

Pengantar

Kata “Allah” masih dipersoalkan oleh sebagian pengguna Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Persoalan ini mencuat ke permukaan, karena ada beberapa kelompok yang menolak penggunaan kata “Allah” dan ingin menghidupkan kembali penggunaan nama Yahweh atau Yahwe. Dalam teks Ibrani sebenarnya nama Yahweh atau Yahwe ditulis hanya dengan empat huruf konsonan (YOD-HE-WAW-HE, “YHWH”) tanpa huruf vokal. Tetapi, ada yang bersikeras, keempat huruf ini harus diucapkan. Terjemahan LAI dianggap telah menyimpang, bahkan menyesat­kan umat kristiani di tanah air. Apakah LAI yang dipercaya gereja-gereja untuk menerjemah­kan Alkitab telah melakukan kesalahan yang begitu mendasar? Di mana sebenarnya letak persoalannya? Penjelasan berikut bertujuan untuk memaparkan secara singkat pertimbangan-pertimbangan yang melandasi kebijakan LAI dalam persoalan ini.

Mengapa LAI menggunakan kata “Allah”?

Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang digunakan secara luas di tanah air, baik oleh umat Katolik maupun Protestan, kata “Allah” merupakan padanan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL dalam Alkitab Ibrani:

Kej 1:1 “Pada mulanya Allah (’ELOHIM) menciptakan langit dan bumi”.

Ul 32:17 “Mereka mempersembahkan kurban kepada roh-roh jahat yang

bukan Allah (’ELOAH).

Mzm 22:2 “Allahku (EL), Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”

Dari segi bahasa, tidak dapat dipungkiri, kata ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL berkaitan dengan akar kata ’L, dewa yang disembah dalam dunia Semit kuno. EL, ILU atau ILAH adalah bentuk-bentuk serumpun yang umum digunakan untuk dewa tertinggi. Umat Israel kuno ternyata memakai istilah yang digunakan oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Apakah hal itu berarti bahwa mereka penganut politeisme? Tentu saja, tidak! Umat Israel kuno memahami kata-kata itu secara baru. Yang mereka sembah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi. Proses seperti inilah yang masih terus bergulir ketika firman Tuhan mencapai berbagai bangsa dan budaya di seluruh dunia.

Beberapa kelompok yang menolak kata “Allah” memang ber­pendapat, kata itu tidak boleh hadir dalam Alkitab umat kristiani. Ada yang memberi alasan bahwa “Allah” adalah nama Tuhan yang disembah umat Muslim. Ada pula yang mengait­kannya dengan dewa-dewi bangsa Arab. Seandainya pendirian ini benar, tentu ’EL, ’ELOAH dan ’ELOHIM pun harus dicoret dari Alkitab Ibrani! Lagi pula, beberapa inskripsi yang ditemukan pada abad keenam menunjukkan bahwa kata “Allah” telah digunakan umat kristiani Ortodoks sebelum lahirnya Islam. Hingga kini, umat kristiani di negeri seperti Mesir, Irak, Aljazair, Yordania dan Libanon tetap memakai “Allah” dalam Alkitab mereka. Jadi, kata “Allah” tidak dapat diklaim sebagai milik satu agama saja.

Kebijakan LAI dalam menerjemahkan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL sama sekali bukan hal baru. Terjemahan Alkitab yang pertama ke dalam bahasa Yunani sekitar abad ketiga SM. merupakan contoh tertua yang kita miliki. Terjemahan yang dikenal dengan nama “Septuaginta” dikerjakan di Aleksandria, Mesir, dan ditujukan bagi umat Yahudi berbahasa Yunani. Dalam Kejadian 1:1, misalnya, Septuaginta meng­guna­kan istilah THEOS yang biasa dipakai untuk dewa-dewa Yunani. Nyatanya, Perjanjian Baru pun memakai kata yang sama, seperti contoh berikut: ”Terpujilah Allah (THEOS), Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (2 Kor 1:3). Tentu, THEOS dalam kutipan ini tidak dipahami sebagai sembahan politeis.

Kata “Allah” dalam sejarah penerjemahan Alkitab di nusantara

Sebelum Alkitab TB-LAI diterbitkan pada tahun 1974, telah ada beberapa Alkitab dalam bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Injil Matius terjemahan A. C. Ruyl (1629) adalah upaya pertama dalam penerjemahan Alkitab di nusantara. Menariknya, dalam terjemahan perdana ini, kata “Allah” telah digunakan, seperti contoh berikut: “maka angkou memerin’ja nama Emanuel artin’ja Allahu (THEOS) ſerta ſegala kita” (Mat 1:23). Terjemahan selanjutnya juga mempertahankan kata “Allah”, antara lain:

  • Terjemahan Kitab Kejadian oleh D. Brouwerius (1662): “Lagi trang itou Alla ſouda bernamma ſeang” (Kej 1:5).
  • Terjemahan M. Leijdecker (1733): “Pada mulanja dedjadikanlah Allah akan ſwarga dan dunja” (Kej 1:1)
  • Terjemahan H.C. Klinkert (1879): “Bahwa-sanja Allah djoega salamatkoe” (Yes 12:2).

· Terjemahan W.A. Bode (1938): “Maka pada awal pertama adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah”.

Seperti tampak pada contoh-contoh di atas, kata “Allah” yang baru belakangan ini dipersoalkan oleh sebagian umat kristiani telah digunakan selama ratusan tahun dalam terjemahan-terjemahan Alkitab yang beredar di nusantara.

Singkatnya, ketika meneruskan penggunaan kata “Allah”, tim penerjemah LAI mempertimbangkan bobot sejarah maupun proses penerjemahan lintas-budaya yang sudah terlihat dalam Alkitab sendiri.

Apa dasar kebijakan LAI dalam soal “YHWH”?

Harus diakui, asal-usul nama YHWH tidak mudah ditelusuri. Dari segi bahasa, YHWH sering dikaitkan dengan kata HAYAH ‘ada, menjadi’, seperti yang terungkap dalam Keluaran 3:14: “Firman Allah (’ELOHIM) kepada Musa: ‘AKU ADALAH AKU.’ (’EHYEH ’ASHER ’EHYEH). Lagi firman-Nya: ‘Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU (’EHYEH) telah mengutus aku kepadamu.’” Maknanya yang persis tidak diketahui lagi, namun ada yang menafsirkannya sebagai kehadiran Tuhan yang senantiasa ‘ADA’ menyertai sejarah umat-Nya.

Apa dasar LAI menggunakan kata “TUHAN” (seluruhnya huruf besar) sebagai padanan untuk YHWH? Untuk menjawab ini, kita perlu memperhatikan sejarah. Umat Yahudi sesudah masa pembuangan amat segan menye­but nama sakral YHWH secara langsung oleh karena rasa hormat yang mendalam. Lagi pula, pengucapan YHWH yang persis tidak diketahui lagi. Setiap kali bertemu kata YHWH dalam Alkitab Ibrani, mereka menyebut ’ADONAY yang berarti ‘Tuhan’. Tradisi pengucapan ini juga terlihat jelas dalam Septuaginta yang menggunakan kata KYRIOS (‘Tuhan’) untuk YHWH, seperti contoh berikut: ”KYRIOS menggembala­kan aku, dan aku tidak kekurangan apa pun” (Mzm 23:1).

Ternyata, Yesus dan para rasul mengikuti tradisi yang sama! Sebagai contoh, dalam pen­cobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis dengan kutipan dari Ulangan 6:16: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan (KYRIOS), Allahmu” (Mat 4:7). Dalam kutipan ini tidak ditemukan nama YHWH melainkan KYRIOS. Jika nama YHWH harus ditulis seperti dalam teks Ibrani, mengapa penulis Injil Matius tidak mempertahankannya? Begitu pula, dalam surat-surat rasul Paulus tidak pernah digunakan nama YHWH. Dalam Roma 10:13, misalnya, Paulus mengutip Yoel 2:32: “Barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan (KYRIOS) akan diselamatkan”. Terbukti, kata yang digunakan adalah KYRIOS, bukan YHWH.

Mungkinkah Yesus dan para rasul telah mengikuti suatu tradisi yang “keliru”? Tentu saja, tidak! Para penulis Perjanjian Baru justru mengikuti tradisi umat Yahudi yang menyebut ’ADONAY (‘TUHAN’) setiap kali bertemu nama YHWH. Karena Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, kata KYRIOS dipakai sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mencerminkan tradisi pengucapan YHWH.

Singkatnya, LAI mengikuti teladan Yesus dan umat kristiani per­dana menyangkut pengucapan YHWH. Dalam Alkitab TB-LAI, kata “TUHAN” ditulis dengan huruf besar semua sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mengingat­kan tradisi pengucapan itu. Penulisan ini memang sengaja dibedakan ­dengan “Tuhan” (hanya huruf pertama besar), padanan untuk ’ADONAY yang tidak merepresentasi YHWH. Perhatikan contoh berikut: “Sion berkata: ‘TUHAN (YHWH) telah mening­gal­kan aku dan Tuhanku (’ADONAY) telah melupakan aku.’” (Yes 49:14). Pem­bedaan ini tentu tidak relevan untuk Perjanjian Baru yang tidak memper­tahankan penulisan YHWH.

Berbagai terjemahan modern juga mengikuti tradisi yang sama, misalnya, dalam bahasa Inggris: “the LORD” (New Jewish Publication Society Version; New Revised Standard Version, New International Version, New King James Version, Today’s English Version); Jerman: “der HERR” (Einheits­übersetzung; die Bibel nach der Übersetzung Martin Luthers); Belanda: “de HEER” (Nieuwe Bijbelvertaling); Perancis”: “le SEIGNEUR” (Traduction Oecumé­ni­que de la Bible).

Penutup

Kebijakan LAI mengenai padanan untuk nama-nama ilahi tidak diambil secara simplistis. Berbagai aspek harus dipertimbangkan dengan matang, antara lain:

  • Teks sumber (Ibrani dan Aram untuk Perjanjian Lama; Yunani untuk Perjan­jian Baru) dan tafsirannya.
  • Tradisi umat Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
  • Sejarah pemakaian nama-nama ilahi dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa dan budaya dari zaman ke zaman.
  • Kebijakan yang diikuti tim-tim penerjemahan Alkitab di seluruh dunia, khususnya yang bergabung dalam Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab se-Dunia (United Bible Societies).

· Kesepakatan yang diambil bersama dengan gereja-gereja, baik Katolik mau­pun Protestan, yang menggunakan Alkitab terbitan LAI hingga saat ini. Menjelang penyelesaian Alkitab TB-LAI, misalnya, pada tahun 1968 diadakan konsultasi di Cipayung dengan para pimpinan dan wakil gereja-gereja dari berbagai denominasi. Dalam konsultasi ini, antara lain, disepakati agar kata “Allah” tetap digunakan seperti dalam terjemahan-terjemahan sebelumnya.

LAI tidak pernah berpretensi seolah-olah terjemahannya sudah sempurna dan tidak perlu diperbaiki lagi. Akan tetapi, mengingat proses panjang dan berhati-hati yang ditempuh dalam menerbitkan Alkitab, tuntutan beberapa kelompok yang ingin menyingkirkan atau memulihkan nama tertentu, tidak dapat dituruti begitu saja. Dalam semua proses pengambilan keputusan menyangkut terjemahan Alkitab, berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan saksama menyangkut teks-teks sumber, tafsirannya, tradisi penerjemahan sampai dampaknya bagi persekutuan dan kesaksian umat Tuhan bersama-sama, khususnya di tanah air kita.

Akhirnya, dengan penuh kesadaran akan terbatasnya kemampuan manusia di hadapan Allah, kita patut mempersembahkan puji syukur kepada Dia yang telah menyatakan firman yang diilhamkan-Nya untuk mendidik orang dalam kebenaran dan memperlengkapi umat-Nya untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:16-17). Dialah yang telah mempersiapkan orang-orang untuk menjelmakan firman kebenaran-Nya dalam aneka bahasa dan budaya dari masa ke masa. Segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!

LEMBAGA ALKITAB INDONESIA

Jl. Salemba Raya 12, Jakarta 10430

P.O. Box 1255, Jakarta 10012

Tel. (021) 314-2890, Faks. (021) 310-1061

E-mail: info@alkitab.or.id

Senin, 15 Desember 2008

Cara Efektif Mengajarkan Nilai-nilai Positif Kepada Anak

"… akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi Bapamu … sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!" (I Korintus 4:15-16)

Luruskan dan tetapkanlah nilai-nilai Anda—hal-hal yang terpenting bagi Anda—demi kepentingan Anda dan anak Anda. Anda adalah figur yang ditiru, entah Anda suka atau tidak!

I. CARA MENCAPAINYA:
1. Telitilah dengan jujur nilai-nilai Anda.
2. Berangan-anganlah untuk menjadi orang yang Anda ingin anak Anda menjadi sepertinya.
3. Jika Anda mempunyai pasangan hidup, bicarakan dengan jujur hal-hal yang penting bagi Anda berdua.
4. Putuskan, seberapa penting pekerjaan berperan dalam hidup Anda dan pertimbangkan segala sesuatunya dari sana.
5. Hadapi dengan tenang persoalan genting yang menekan, sekarang juga. Menundanya hanya akan menambah parah.
6. Entah Anda bekerja atau tidak, jadikan “meluangkan waktu bersama anak” sebagai prioritas utama.

II. CARA MENGOMUNIKASIKAN:
1. Ceritakan kehidupan Anda dan ambillah pelajaran atau nilai positifnya.
Anak-anak senang mendengarkan cerita tentang masa kecil Anda. Selipkanlah beberapa dilema moral dalam cerita Anda, maka Anda akan mendapat kesempatan untuk mengajar nilai-nilai yang positif pada mereka.

2. Hiduplah menurut nilai-nilai yang Anda pegang—bertindaklah sesuai dengan perkataan Anda.
Anak-anak belajar dari meniru. Mereka mampu melihat dan membandingkan apakah yang Anda katakan dan lakukan sama. Oleh karena itu, janganlah membuat mereka bingung. Ikuti dan terapkan nilai-nilai yang Anda pegang dalam kehidupan sehari-hari.

3. Perkenalkan nilai-nilai agama kepada mereka.
Ajarlah mereka untuk mengetahui bahwa mereka tidak sendiri. Perkenalkanlah saudara-saudara seiman yang saling mendukung dalam komunitas bergereja. Hal ini akan memperkuat nilai-nilai positif dalam jiwa dan perilaku mereka.

4. Perhatikan siapa saja yang mengajarkan nilai-nilai kepada anak Anda.
Kenali orang-orang yang ada di sekitar anak Anda—guru di sekolah, guru Sekolah Minggu, teman dst. Ketahuilah nilai-nilai yang mereka anut, karena orang-orang yang menghabiskan banyak waktu bersama anak Anda pastilah akan memengaruhi mereka. Ketahuilah juga kepercayaan mereka.

5. Ajukan pertanyaan yang membangkitkan perbincangan tentang nilai-nilai mereka.
Mengatakan kepada anak-anak yang terlalu kecil tentang nilai-nilai positif yang patut untuk mereka terapkan dalam kehidupan pastilah lebih sulit. Sebagai gantinya, tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan yang memicu diskusi tentang nilai-nilai. Misalnya ketika terjadi perkelahian, cobalah ajukan pertanyaan,”Menurutmu bagaimana perkelahian itu?” Pertanyaan seperti ini akan lebih efektif dibanding bila Anda berkomentar, “Dia seharusnya tidak boleh memulai pertengkaran itu!”

6. Sampaikan nilai-nilai positif dengan cara yang santai dan mudah dimengerti.
Berbicara tentang nilai-nilai yang seharusnya dipegang oleh anak Anda akan percuma jika Anda mengatakannya setelah anak Anda terperosok! Bicarakanlah dengan mereka saat santai. Lakukanlah dalam pembicaraan ringan sehari-hari. Suasana yang santai lebih memudahkan mereka untuk mendengarkan Anda dibanding bila Anda menghu-kum dan mengomel pada mereka.

7. Bacakan dongeng kepada anak balita Dongeng dan kisah lainnya seperti fabel dan hikayat selalu menarik bagi anak-anak.
Selain mengasah imajinasi mereka, dongeng dapat menjadi pengantar untuk membicarakan beragam topik nilai positif. Anak-anak belajar lebih cepat ketika mereka tertarik pada topik pembicaraan.

8. Libatkan anak-anak dalam berbagai aktivitas, termasuk seni dan membantu orang lain.
Kurangi menonton televisi dan bermain games. Anak-anak belajar tentang nilai-nilai positif ketika mereka mengalaminya. Bagi anak yang lebih besar, ajaklah mereka terlibat dalam berbagai aktivitas yang akan memperluas pengalaman dan daya kreativitasnya.

9. Sediakan waktu untuk berbincang-bincang seputar nilai-nilai yang Anda pegang dalam rumah tangga Anda.
Lakukan hal ini sering dan berkala sehingga anak-anak mengerti bahwa nilai-nilai positif yang Anda ajarkan kepada mereka adalah untuk diterapkan, bukan untuk dibicarakan saja.

10. Miliki harapan yang tinggi atas nilai-nilai yang hendak Anda terapkan bagi anak Anda.
Anak-anak akan menjadi seperti yang Anda inginkan. Nilai yang mereka anut akan tercermin dalam tingkah laku mereka. Semakin tinggi nilai-nilai positif yang orangtua ajarkan pada anak, tindakan mereka pun akan semakin baik.

Bangunlah komunikasi yang efektif dan penuh kasih.

Temukanlah caranya dalam buku berikut:
1. Menjadi Orangtua yang Bijaksana, H. Norman Wright, Penerbit Andi.
2. The Dad in the Mirror, Patrick Morley & David Delk, Penerbit Andi.
3. Orangtua Karier, Steve Chalke, Penerbit Andi.